Ilustrasi gambar sumber Google
SinarBemo - Di suatu kampung hiduplah seorang wanita dengan anak tunggalnya berumur 12 tahun. Suaminya sudah meninggal akibat tumbangnya pohon, saat ia sedang pulang dari perkebunan sayur, Jaraknya cukup jauh dari rumah.
Istrinya menceritakan, "Hari itu hujan cukup deras, badai dan angin keras menyerang kampung ini, rasanya ingin terbang. Dalam ganasnya badai dan hujan yang mencekam, suami ku tengah pulang.
Hari sudah gelap. Saya tidak betah memikirkan suamiku yang belum sampai di rumah, perasaan saya tidak enak. Segera saya berangkat meninggalkan anak ku, pagi ia sudah sampaikan "Saya pergi ke kebun," Kata ayah anak tunggal. Ketika saya sampai di hutan yang banyak pohon-pohon besar, tepat disitu jalan tertutup ranting kayu yang terlepas jatuh ke tanah akibat angin dan badai yang besar. Saya berusaha tembus untuk teruskan jalan ke kebun. Saya mulai angkat ranting-ranting pohon itu, dan saya menemukan ada seorang manusia yang di injak oleh ranting pohon itu. Lalu saya mulai dekat dan melihatnya, sungguh ternyata suami saya. Saya mulai menangis sambil memeluknya. Saat itu Ia masih ada nafas tetapi tidak bisa bicara, tidak bisa bergerak. Saya stress sebab tidak bisa memikul suami saya. Segera saya memanggil masyarakat sekitarnya dan beberapa warga datang lalu bawa pulang ke rumah.
Istrinya dengan beberapa orang yang membantunya bergegas membawanya ke puskesmas tetapi karena malam dan jarak yang jauh dari rumah akhirnya mereka putuskan bawa dia ke puskesmas besok pagi. Sangat di sayangkan tidak ada waktu lagi untuk bertahan nafas hingga esok pagi, ia menghembuskan nafas terakhirnya pada subuh.
Kini tinggal istri dan anak tunggalnya. Ibu dari anak tunggal ini terus membenci kenyataan yang pahit yang menimpanya; hampir setiap sore ia memikirkan suami tercintanya yang ia cintai dengan setulus hatinya. Bahkan saat mau mencicipi makan malamnya mereka berdua ia tak lupa ingat bagian makanan ia selalu kasih ke suaminya sewaktu ia masih hidup. hatinya semakin terluka; rasa sedihnya makin subur di hatinya. Dalam keadaan batinnya tersakiti dan belum pulih, orang-orang di sekitar mereka juga tidak mempedulikan mereka. Keluar masuk mereka dua sendiri dan semakin menjadi mandiri; tidak ketergantungan terhadap siapapun.
Ketika anaknya sudah tingkat SMA Ia semakin dewasa. Menjadi laki-laki yang cukup dewasa dan selalu memberikan kekuatan, penghiburan pada mamanya. "Ma... semua manusia akan mati dengan cara masing-masing, kita hanya pasrah dan merima kenyataan. Ingat! Saya ada sebagai bapa dan pengganti Bapa." Ia pun selalu menghiburnya dengan kata-kata penuh kekuatan pada mamanya. Perlahan makin tenang dengan obat yang ditawarkan anaknya kepada mama dengan kata-kata yang penuh berkekuatan.
Suatu saat, mamanya bertanya kepada anaknya "kamu akan lanjutkan sekolah dimana?" Tanyanya. "Saya belum bisa putuskan ma" jawab anaknya. Lalu mamanya tak mau bicara lagi; diam saja. Saat itu juga anak mulai berpikir dalam hati atas pertanyaan mamanya. Diam-diam ia mulai berusaha menentukan kata-kata saat nanti ia mau berangkat supaya apapun yang ia sampaikan mudah diterima mamanya. Psikologi mamanya mulai pulih sebab anaknya menjadi penawar obat baginya. Ia mulai sehat-sehat saja; ia merasakan semua beban yang melekatnya sudah tiada lagi. Ia sudah lengah, melihat suasana hati yang baru. Rasanya keluar dari kurungan penjara. Mereka berdua hidup dan benar-benar menjadi mandiri. Semua kebutuhan hidup, mereka lengkapi dengan kerja keras mereka sendiri.
Anak tunggalnya sudah kelas 3 SMA, sebentar lagi akan menyelesaikan studinya di jenjang ini. Latar belakang hidup mereka yang sederhana, tidak punya pendapatan yang cukup, mamanya ambigu menyekolahkan anak tunggal ini, lagipula mereka tak dipedulikan tetangganya. Sanak saudara yang melekat sebagai keluarga pun berpendapatan rendah di bawa rata-rata. Rasanya tidak sanggup; sungguh benar-benar mamanya tak kuat.
Masa SMA anak berakhir di tandai dengan ujian akhirnya. Suatu sore mama berkata "anak kamu sudah tahu keadaan hidup kita, kita punya kehidupan ekonomi yang cukup lemah, lagipula tidak ada orang yang perhatikan kita, kamu akan pergi kuliah atau tidak?" Sahut mamanya sambil mencucurkan air mata di pipinya. "Jangan takut Maa, semua itu indah pada waktunya," jawab anak membalas perkataan mamanya. Mamanya diam sambil hapus air matanya yang tak kunjung habis. Anak tunggal mengajak mamanya bercerita sambil bujuk mamanya agar tidak berkecil hati, tidak mengeluh dan merasa beban dalam hatinya. Ia bahkan memeluk mamanya yang lagi sedih. mamanya sudah tenang.
Ada kabar menggembirakan bagi mamanya, anaknya di terima dari antara ratusan manusia yang berlomba mengikuti test tertulis dan wawancara untuk masuk di salah satu kampus di kota, anaknya termasuk salah satu peserta yang lulus dan disekolahkan dengan biaya Pemerintah, isi surat yang di terimanya, "anak mu sudah lulus dari tes tertulis yang kami lakukan pada tanggal 10 Mei 1998, maka itu, kami akan berangkatkan mereka untuk melanjutkan pendidikan di tingkat perguruan tinggi dan biaya akan di tanggung oleh pihak pemerintah." Sejak itu, mamanya makin tenang malahan hati mulai gembira sekali dalam diam, ekspresi wajahnya makin pulih dan tersenyum.
Awal tahun, menjadi mahasiswa, anaknya selalu memikirkan mamanya. Suatu sore, ia bahkan tidak betah memikirkan mamanya, karena tidak ada komunikasi sejak ia berangkat sampai di akhir semester pertama (semester ganjil). Kerinduannya makin subur, ia bahkan memutuskan masa liburan tiba, akan pergi ke mama. Ketika liburan tiba, Ia segera siap untuk pulang ke kampung halamannya.
Sesampainya kampung berjumpa dengan mama yang lantaran menyimpan rindu dalam hatinya. Memang cukup lama tak mendengar suara anak satu-satunya. Mamanya memeluknya hingga berjam-jam sambil air matanya membasahi pipinya. Anak mengajak mamanya untuk ngobrol "Mama baik-baik saja ya"? Tanya anaknya. Mamanya masih nangis dan diam. Usai menangis dan sudah berhenti memeluk dan menangis lalu ia berkata "Mama baik-baik saja Nak, tetapi saya selalu merindukan kamu" katanya. "Mama saya juga selalu rindukan mama, bahkan kadang lupa makan," kata anaknya.
Jam sudah sore, mamanya segera siapkan hidangan malam untuk mereka dua nikmati. Pukul 19.00 WIT, mamanya ajak anak makan makanan yang disiapkannya. Sambil mereka nikmati anaknya cerita, mama selama saya di kota, saya aman-aman saja, semua kebutuhan selalu tercukupi, bahkan banyak teman dekat saya yang membantu ku. Mama makin terbakar dengan semua obrolan anaknya yang semakin seru mendengarnya.
Setelah beberapa Minggu, anaknya kembali ke kota. ia betah sampai jumpa lagi dengan mamanya saat ia sudah mau wisuda. Setelah wisuda Ia segera direkrut menjadi karyawan di sebuah Perusahaan ternama di kota. Ia meminta mamanya tinggal di kota. "Ma bisa ngak kita tinggal di kota beberapa tahun, lagipula saya sudah menjadi karyawan. Mamanya terima permintaan anaknya.
Beberapa tahun kemudian anaknya sudah menjadi manajer, punya mobil, hidupnya sudah mapan, selalu membahagiakan mamanya. Anaknya sudah manajer dan anaknya diminta nikah tetapi ia masih belum memikirkan sampai itu, ia hanya ingin bahagia dengan mamanya. Ia selalu membawa mamanya ke mana saja, bahkan keluar negeri, menikmati kebahagiaan disana.
Anaknya sungguh-sungguh melunasi semua pengorbanan mamanya dengan gajinya. Ia sungguh tak melewatkan satu katapun, ia hidup menurut kemauan mamanya, hingga akhir hayatnya.
Karya: Simion Kotouki
Post a Comment