Dalam suasana kaka Jose memberikan motivasi dan inspirasi kepada OAP Deiyai di Aula BPKSDM Kamis, 24 April 2025.
Oleh: Simion Kotouki
Ketika kita membicarakan pembangunan Papua, terlalu sering diskusi terjebak pada infrastruktur dan angka statistik. Jalan dibangun, jembatan diresmikan, dan dana otonomi khusus terus mengalir. Namun, satu aspek fundamental sering luput dari perhatian: cara berpikir. Di tengah gemuruh pembangunan fisik, siapa yang sungguh-sungguh membangun mentalitas? Siapa yang menanamkan gagasan bahwa perubahan tidak hanya datang dari luar, tapi juga harus dimulai dari dalam diri setiap individu?
Dalam konteks inilah, kehadiran figur seperti Kaka Jose di Deiyai, Papua, beberapa waktu lalu patut diapresiasi dan dicermati lebih dalam. Bukan karena ia selebritas media sosial, tapi karena ia membawa satu hal yang sering dilupakan oleh para perancang program pembangunan: kesadaran berpikir kritis dan reflektif.
Pola Pikir sebagai Pondasi Perubahan
Selama ini, banyak program pelatihan atau penyuluhan untuk Orang Asli Papua (OAP) cenderung teknokratis dan normatif. Pelatihan komputer, bengkel, menjahit, dan lain-lain tentu penting—tapi keterampilan teknis tanpa disertai perubahan cara berpikir hanyalah setengah jalan. Sebab, sehebat apa pun kemampuan teknis yang dimiliki, jika dibarengi dengan mentalitas pasif dan ketergantungan, maka dampaknya akan sangat terbatas.
Kaka Jose, lewat metode yang ia sebut PAPEDA, mencoba menyentuh akar masalah ini. Meski makna akronim PAPEDA belum dijabarkan secara detail, pendekatan ini sudah cukup menggugah karena berbicara langsung pada jantung persoalan: bagaimana mengubah pola pikir anak-anak muda Papua agar lebih mandiri, berani bermimpi, dan mampu melihat dunia secara kritis.
Bahasa Rakyat, Pendekatan Akar Rumput
Salah satu kelebihan Kaka Jose adalah kemampuannya menjembatani dunia gagasan dengan realitas rakyat. Ia tidak berbicara dalam jargon rumit atau istilah teknis yang membingungkan. Sebaliknya, ia hadir dengan bahasa rakyat dan contoh nyata dari kehidupan sehari-hari. Ini bukan sekadar soal komunikasi, melainkan strategi mendasar untuk membuat pendidikan dan pembelajaran menjadi milik bersama, bukan hanya milik mereka yang bersekolah tinggi atau tinggal di kota.
Pendekatan semacam ini justru memperlihatkan betapa selama ini ada kesenjangan antara niat baik pemerintah dan cara penyampaiannya. Banyak program bagus yang gagal bukan karena idenya salah, tapi karena cara menyampaikannya tidak nyambung dengan kultur berpikir masyarakat lokal.
PAPEDA: Sebuah Filosofi Edukatif Khas Papua
Yang paling menarik dari metode PAPEDA adalah upaya Kaka Jose untuk membumikan semangat berpikir sistematis dalam konteks lokal Papua. Alih-alih memaksakan kerangka berpikir luar yang kaku, PAPEDA justru menjadi jembatan: membawa nilai-nilai pendidikan modern ke dalam konteks budaya dan bahasa yang akrab bagi anak-anak muda Papua.
Jika dikembangkan lebih jauh, metode ini bisa menjadi model pendidikan alternatif—sebuah sistem pembelajaran berbasis konteks lokal yang tidak hanya mengandalkan buku dan teori, tapi juga pengalaman hidup, perenungan, dan pemecahan masalah nyata.
Membangun dari Dalam, Bukan Hanya dari Luar
Kita perlu memahami bahwa keberdayaan suatu masyarakat tidak hanya bisa dibentuk dari intervensi eksternal. Bantuan dana, fasilitas, dan pelatihan hanyalah alat. Yang paling menentukan adalah apakah masyarakat tersebut memiliki kesadaran untuk menggunakan alat-alat itu secara mandiri dan produktif.
Di sinilah metode seperti PAPEDA menjadi sangat relevan. Ia mengajarkan bahwa perubahan harus dimulai dari kesadaran individu. Dari bertanya "mengapa?" dan "bagaimana?" hingga berani mengambil langkah konkret untuk keluar dari zona nyaman.
Harapan untuk Papua yang Lebih Maju
Papua tidak kekurangan orang-orang pintar. Tidak kekurangan potensi. Yang sering kurang adalah pola pikir yang mendorong anak-anak muda untuk percaya pada diri sendiri, berpikir kritis, dan bertindak secara terencana. Inisiatif seperti yang dilakukan oleh Kaka Jose dan Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Deiyai adalah contoh kecil namun bermakna bahwa perubahan itu mungkin, dan harus dimulai dari level paling dasar: pola pikir.
Sebagai bangsa, kita harus mendukung dan memperluas pendekatan semacam ini. Bukan dengan menggantikan, tapi melengkapi pendekatan pembangunan yang sudah ada. Pendidikan dan pelatihan bukan hanya soal keterampilan teknis, tapi soal membangun manusia yang utuh: berpikir, merasakan, dan bertindak secara mandiri.
Dan siapa sangka, dari tanah Papua, lewat semangkuk PAPEDA, kita justru belajar satu hal penting: perubahan yang sejati selalu dimulai dari dalam.
Post a Comment