![]() |
Kondisi pasar waghete saat ini. |
Sinar Bemo - Kabupaten Deiyai, salah satu kabupaten muda di Provinsi Papua, Indonesia, lahir dari pemekaran Kabupaten Paniai dan diresmikan pada 29 Oktober 2008 berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 55. Pusat pemerintahannya kini berada di Tigi, dan lebih spesifik lagi, di Wakeitei, yang kini dikenal dengan nama Waghete. Namun, meski sudah lebih dari satu dekade berdiri, ada satu persoalan mendasar yang hingga kini belum menemukan solusi: keberadaan pasar rakyat yang layak.
Pasar Wakeitei Sebelum Deiyai Dimekarkan
Sebelum pemekaran, Distrik Tigi menjadi pusat aktivitas ekonomi lima distrik selatan Kabupaten Paniai: Tigi, Tigi Timur, Tigi Barat, Bouwobado, dan Kapiraya. Setiap Senin, Rabu, dan Jumat, masyarakat dari berbagai kampung di sekitar Danau Tigi, Wagamo, hingga Tigi Timur berbondong-bondong menuju Wakeitei. Dengan berjalan kaki, mereka memikul hasil bumi seperti petatas, sayur-sayuran, umbi-umbian, buah-buahan, ikan, ramuan tradisional, rotan, tembakau, kayu, pagar, dan barang kerajinan lainnya.
Pasar saat itu sederhana. Hanya terdapat empat unit beratap seng dan beberapa para-para jual yang berdiri di tengah pemukiman masyarakat Non-Papua. Namun, karena antusiasme dan semangat berdagang masyarakat begitu tinggi, ruang yang tersedia sering tidak cukup. Banyak pedagang akhirnya menggelar jualan mereka di pinggir-pinggir jalan.
Kondisi akses jalan yang belum memadai membuat perjalanan menuju pasar penuh perjuangan, apalagi di musim hujan saat jalanan menjadi becek dan berlumpur. Tanah lembek di sekitar Danau Tigi menjadi tantangan tambahan. Namun, semua itu tidak menyurutkan semangat masyarakat untuk berdagang. Pecek dan lumpur bukan alasan untuk berhenti mengais rejeki.
Hasil dari berdagang di pasar digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, membiayai pendidikan anak-anak, serta melunasi sumbangan wajib untuk kegiatan gereja seperti Natal atau pembangunan fasilitas keagamaan. Pada masa itu, masyarakat berdagang lebih sebagai bentuk kebutuhan hidup, belum memandangnya sebagai kegiatan bisnis modern. Jika barang dagangan tidak laku, mereka biasa menitipkan barang ke keluarga di kota atau ke tetangga dan kembali menjualnya di hari pasar berikutnya.
Perkembangan Pasar Setelah Pemekaran Kabupaten Deiyai
Harapan besar muncul ketika Deiyai resmi menjadi kabupaten. Masyarakat mendambakan kemajuan, termasuk dalam penyediaan fasilitas pasar yang layak. Namun, kenyataannya jauh dari harapan.
Pada tahun 2012, pemerintah mencoba membangun pasar baru di kawasan Timipotu, Waghete II. Namun, masyarakat enggan memindahkan aktivitas mereka ke sana. Lokasi tersebut dianggap kurang strategis — tersembunyi dan jauh dari jalan besar yang ramai. Pola jual beli masyarakat yang sudah terbiasa di tempat terbuka dan pinggir jalan membuat pasar baru itu sepi dan tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Selain itu, kegagalan pembangunan ini juga disebabkan minimnya pendekatan sosial, edukasi, dan komunikasi kepada masyarakat tentang manfaat pasar tersebut.
Sementara itu, pasar lama yang pernah berdiri sejak tahun 1980-an hilang karena lahan tersebut beralih kepemilikan ke warga Non-Papua, yang kemudian membangun rumah-rumah pribadi di atasnya. Tanpa pasar permanen, masyarakat kembali ke pinggir jalan untuk berdagang, kini dengan tambahan tantangan baru: debu kendaraan bermotor yang semakin banyak. Barang dagangan tidak lagi segar karena terpapar abu jalanan, yang lambat laun berpotensi merusak kesehatan para konsumen.
Pada tahun 2020, pemerintah membangun satu unit pasar di masing-masing desa sekitar Danau Tigi. Namun, upaya ini kembali tidak membuahkan hasil. Lagi-lagi, pembangunan dilakukan tanpa komunikasi dan pendekatan yang efektif kepada masyarakat. Pasar-pasar baru ini sepi, sementara aktivitas jual beli tetap berlangsung di pinggir jalan, di titik-titik ramai seperti di Odedimi, Gakokebo, dan beberapa sudut sepanjang jalan besar sekeliling Danau Tigi.
Pasar: Jantung Ekonomi Rakyat yang Terabaikan
Hingga kini, meskipun sudah melewati lima periode pemerintahan, Kabupaten Deiyai belum juga memiliki pasar rakyat yang layak dan representatif di pusat kota Waghete. Ini menjadi indikator nyata bahwa perhatian pemerintah terhadap pasar rakyat masih sangat minim.
Padahal, pasar bukan hanya tempat bertemunya penjual dan pembeli. Lebih dari itu, pasar adalah jantung ekonomi rakyat kecil. Pasar yang hidup dapat mendorong kemandirian ekonomi masyarakat, meningkatkan daya beli, mempercepat perputaran uang, dan pada akhirnya mendorong peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui retribusi, parkiran, dan pajak.
Mirisnya, di tengah perjuangan orang tua membanting tulang untuk membiayai pendidikan anak-anak mereka, pemerintah belum juga menyediakan infrastruktur dasar yang memadai untuk mendukung mereka. Balas budi terhadap dedikasi rakyat seolah masih sebatas retorika.
Harapan Masyarakat Deiyai
Masyarakat berharap pemerintah segera menjadikan pembangunan pasar yang layak sebagai program prioritas. Pasar tersebut harus: Berada di lokasi strategis (dekat jalan utama dan ramai). Memiliki fasilitas dasar yang memadai:
1. Atap, lapak jualan, tempat parkir, sanitasi, dan keamanan.
2. Dibangun dengan melibatkan masyarakat dalam perencanaan, edukasi, dan sosialisasi.
3. Mengakomodir pola budaya berdagang masyarakat lokal.
4. Menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah
Dengan membangun pasar yang layak, pemerintah tidak hanya memuliakan jerih payah para petani dan mama-mama Papua, tetapi juga membangun pondasi ekonomi rakyat yang kuat untuk masa depan Deiyai yang lebih mandiri dan sejahtera.
Sudah saatnya Deiyai, sebagai kabupaten yang berdaulat, memiliki pasar rakyat yang membanggakan.
Post a Comment