Gambar ilustrasi sumber Google
Sinar Bemo - Berpacaran adalah konsep masyarakat modern. Artinya baru pada beberapa puluh tahun inilah kita mengenal konsep tersebut. Di masa lampau hal ini tidak dikenal karena perkawinan biasanya diatur oleh pihak keluarga atau orang tua kedua belah pihak. Mengapa demikian? Karena memang perkawinan bukan cuma masalah pribadi kedua orang yang terlibat saja, melainkan mempunyai dampak yang luas kepada keluarga dan keseluruhan masyarakat sekitarnya. Oleh karena itu tu berkepentingan dengan pembentukan keluarga yang baru. Pembentukan keluarga baru itu harus memenuhi syarat dan mendapatkan persetujuan keluarga kedua belah pihak dan anggota masyarakat lainnya. Masyarakat Jawa misalnya mensyaratkan bobot, bibit, bebet sebagai ukuran untuk menentukan jodoh yang baik dan sepadan. Artinya apakah si calon itu mempunyai kemampuan atau pendidikan (bobot) yang cukup baik. Apakah ia berasal dari keluarga yang baik-baik (bibit). Apakah pasangan itu memang sudah sipadan dan serasi (bebet).
Pada zaman kini telah banyak berubah. Kebebasan memilih pasangan lebih banyak diberikan kepada mereka yang merencanakan kehidupan bersama itu karena kemudian muncul kesadaran bahwa mereka inilah yang akan menjalani kehidupan tersebut. Akan tetapi, toh kita masih melihat batas-batasnya karena memang dampak pembentukan keluarga baru itu masih tetap terasa pada keluarga pihak laki-laki dan perempuan serta pada anggota masyarakat lain. Karenanya orang yang berpacaran tidak boleh bersikap acuh tak acuh terhadap lingkungan sekitarnya, sambil berkata "dunia ini milik kita berdua." Kita harus bersikap kritis terhadap berbagai macam cerita atau lagu pop yang menyodorkan penyelesaian sederhana terhadap masalah-masalah sekitar berpacaran atau pergaulan dengan lawan jenis.
1. Arti Pacar Dalam Iman Kristen
Seperti dikatakan di atas, berpacaran adalah konsep yang baru. Karena itu, sulit kita menemukan contoh-contoh yang jelas dalam Alkitab. Namun kita dapat menyimpulkan bahwa berpacaran adalah suatu proses dimana seorang laki-laki atau perempuan menjajaki kemungkinan adanya sepadanan diantara mereka berdua yang dapat dilanjutkan ke dalam perkawinan. Karena itulah tidak selamanya seseorang berakhir dengan Cinta pertamanya sampai masuk ke dalam kehidupan perkawinan.
Sayangnya, buru-buru dalam proses ini. Sejak di bangku SMP, misalnya, sudah ada remaja yang jatuh cinta dan bahkan merasa yakin bahwa orang yang diidamkannya itu pasti akan menjadi pasangan hidupnya kelak. Pandangan Pertama seringkali mermaid cowok kan sering seorang remaja cepat-cepat menyimpulkan bahwa pasangan yang diincarnya itulah yang pasti akan menjadi suami atau istrinya. Ada pula pasangan yang bahkan dalam masa pacaran sudah menyapa satu sama lain "Papi atau Mami" padahal belum tentu mereka itu menjadi suami istri. Ada lagi yang melangkah terlalu jauh, sehingga benar-benar hidup sebagai suami istri, yaitu sampai pada hubungan seksual. Apa yang terjadi apabila ternyata hubungan tersebut putus? Yang seringkali tersisa adalah kepahitan dan kekecewaan yang sangat mendalam, karena seolah-olah seluruh harapan hidup sudah ditumpahkan kepada sang pacar itu, sehingga tidak ada lagi yang tersisa sesudah hubungan terputus.
a. Cinta Monyet
Yang dibicarakan di atas adalah suatu proses yang seringkali disebut cinta Monyet. Pengalaman ini, seperti dikatakan di atas, sering disangka sebagai Cinta sejati. Padahal pengalaman ini biasanya muncul pada permulaan usia remaja, pada saat sang remaja secara fisik (khususnya yang perempuan), emosional maupun keuangan belum siap untuk membentuk keluarga yang baru. Lalu, salahkah cinta monyet itu? Sudah tentu kalau sifatnya untuk mengenal sifat-sifat orang lain, khususnya dari jenis kelamin yang berbeda, tidak ada salahnya. Bahkan hal ini dapat menjadi kesempatan bagi seorang remaja untuk melihat-lihat diantara teman-temannya, siapakah yang paling tepat untuk menjadi kawan hidupnya kelak. Apalagi kalau itu kemudian dapat memacu kita untuk belajar lebih keras, karena tidak mau dibuat malu di depan sang "pacar" yang kebetulan duduk pada kelas yang sama.
M.A W Brouwer Menulis demikian
Seandainya tidak ada cinta di SMP atau SMA dunia perfilman di Indonesia pasti suram... Cerita dan kisah cinta masa muda tak akan pernah habis. Hal itu bisa ditinjau dari sudut sosiologi, ekonomi, kebudayaan, falsafah atau ilmu jiwa, sedang agama dan etika pun suka campur tangan juga. Menurut banyak orang, masa remaja merupakan fajar dari hidup manusia, waktu kesan-kesan dari hidup di sekelilingnya paling kuat. Tidak ada hal yang lebih menggembirakan hati penyair dan seniman daripada young Love, cinta masa muda (ibid., hlm. 122)
Yang salah ialah apabila perasaan itu terus menerus mengganggu pikiran seorang anak remaja. Seluruh perhatian hanya ditujukan kepada sang pacar, atau kepada semua pengalaman yang berlebih-lebihan dengan pacar itu. Akibatnya Ia tidak mampu lagi melakukan apa pun. Pelajaran di sekolahnya terbengkalai. Bahkan mungkin pula kesehatan tubuh dan jiwanya sendiri terganggu. Tidak jarang ada remaja yang terhanyut ke dalam obat bius atau bahkan membunuh diri karena gagal dalam hubungan cinta seperti ini. Sudah tentu ini adalah keputusan yang salah, karena Alkitab mengajarkan kita untuk menghargai tubuh kita sendiri (lihat 1 Korintus 6:19).
b. Batas-batas Berpacaran
Sama halnya dengan hubungan persahabatan, berpacaran pun mempunyai batas-batasnya sendiri. Batas-batas ini tentu saja sangat bervariasi dari tempat ke tempat dari suku ke suku. Umumnya ada kesepakatan bahwa dalam berpacaran sedikit-banyak sudah ada janji untuk saling mengikat diri dengan pasangannya. Ini berarti mulai ada keterbatasan pergaulan dalam diri mereka yang sudah mulai berpacaran.
Yang perlu diingat adalah ikatan ini tidak sama dengan ikatan dalam suatu perkawinan. Bukankah suami atau istri sehingga tidak boleh diperlakukan demikian. Oleh karena itu, ada baiknya apabila remaja yang berpacaran tetap pergi bersama-sama dengan teman-teman atau anggota keluarga lain, sehingga selalu ada rem yang mampu mengendalikan semua tingkah laku. Ingatlah selalu bahwa sang pacar itu bukanlah sebuah objek, melainkan subjek yang selalu mempunyai kehendak bebas. Hubungan berpacaran yang sehat harus memberikan peluang kepada kedua belah pihak untuk mengambil keputusan yang tegas, tanpa harus diwarnai ketakutan, "kasihan dia" atau "Bagaimana kalau nanti dia gagal sekolahnya, kalau ia bunuh diri," dan sebagainya.
Ini berarti suaranya berpacaran tentu masih mempunyai kebebasan untuk berganti pikiran apabila ternyata hubungan yang terjalin itu dirasakan tidak cocok. Misalnya karena pribadi, nilai-nilai keyakinan hidup, cinta-cinta dan sebagainya dari sang pacar ternyata sangat berbeda sehingga sulit sekali ditemukan ketidaksesuaian diantara keduanya. Bila ini terjadi, sebaiknya berpacaran itu tidak dilanjutkan ke tingkat yang lebih jauh.
c. Keterbukaan dalam Berpacaran
Masa berpacaran adalah kesempatan untuk mencari pasangan yang paling tepat dan terbaik. Di pihak lain, untuk mendapatkan pasangan seperti itu banyak orang mencoba menutupi keburukan keburukan yang ada dalam dirinya sendiri, Supaya orang yang diharapkan itu dapat diperoleh. Tidak mengherankan apabila masa pacaran sering kali juga dipenuhi oleh kepura-puraan untuk menutupi hal-hal yang mungkin akan dianggap negatif. Misalnya, ketika mengetahui gadis yang diincarnya tidak suka pada laki-laki yang suka merokok sang laki-laki itu pun akan mengaku bahwa ia tidak merokok. Usaha sedapat mungkin untuk tidak merokok. Kalau dahulu seorang remaja tidak biasa mandi pagi kini kebiasaan itu dicoba ditutup-tutupi. Begitu pula kalau seseorang berasal dari keluarga yang kurang mampu kenyataannya itupun coba ditutup-tutupi dengan tidak mengundang sang pacar ke rumah. Ada banyak cara lain untuk menutup-nutupi faktor yang dirasakan negatif dalam diri sendiri. Adakalanya perubahan yang dilakukan itu memang baik, kalau hal itu benar-benar menjadi langkah awal menuju sifat-sifat yang baik. Seorang remaja yang yang tadinya jarang ke gereja, mulai saat itu dari rajin ke gereja, dan kemudian aktif dalam berbagai kegiatan di gereja. Seorang lainnya yang tadinya merokok tiba-tiba sama sekali menghentikan rokoknya dan sebagainya.
Kepura-puraan jelas akan merugikan. Misalnya, setelah berhasil mendapatkan si pacar, kebiasaan-kebiasaan buruk itu dapat muncul kembali, dengan keyakinan toh ini saya sudah mendapat orang yang saya harapkan itu. Kebiasaan marah-marah ini muncul kembali, malahan lebih hebat karena diikuti dengan pukulan. Kekurangan dari segi ekonomi dalam keluarga tentu tidak dapat ditutup-tutupi untuk selamanya. Barangkali juga memang tidak perlu, apabila sama pacar ternyata bisa memaklumi keadaan tersebut.
Oleh karena itulah, masa pacaran seharusnya di manfaatkan dengan sebaik-baiknya agar bisa lebih mengenal apa dan siapa sih pacar itu sebenarnya. Misalnya, ucapkanlah dengan tegas kalau ada sesuatu yang tidak kamu sukai dalam tindakan atau perilaku sang pacar. Seorang yang sedang berpacaran tidak perlu terlalu khawatir bahwa sang pacar akan meninggalkannya, apabila memang hal itu menyangkut hal-hal yang sangat prinsipil. Jangan sampai kekecewaan muncul justru di kemudian hari, ketika semuanya sudah terlambat.
Keterbukaan ini juga seharusnya dilakukan terhadap anggota keluarga kedua belah pihak. Dengan demikian pihak keluarga juga dapat ikut memberikan pertimbangan-pertimbangan yang sangat berharga. Mereka yang lebih dewasa dan lebih berpengalaman, tentu mampu memberikan nasihat-nasihat yang bermanfaat bagi kita.
2. Tunangan
Pertunangan adalah suatu masa yang lebih mendalam daripada masa pacaran. Di dalam masa ini, suatu pasangan biasanya sudah tiba pada tahap perencanaan yang lebih matang untuk memasuki kehidupan berkeluarga. Tradisi tentang masa ini pun berbeda-beda dari suku maupun tempat. Ada yang menganggap bahwa pertunangan itu sudah sama resminya dengan perkawinan, sehingga tidak boleh diputuskan lagi. Ada pula yang menganggap bahwa inilah saat-saat yang paling serius untuk menentukan apakah kedua orang tersebut benar-benar akan memasuki mahligai perkawinan sehingga pemutusan hubungan masih dimungkinkan. Namun apapun juga pemahaman orang tentang hubungan ini, yang pasti ada kesepakatan bahwa pertunangan. Cara nanya masih ada batas-batas yang harus tetap dihargai dan dihormati antara kedua orang yang bertunangan itu. Misalnya, bunda hubungan seksual sampai pada masa perkawinan.
Lebih jauh daripada masa berpacaran masa pertunangan ini selayaknya diisi dengan pengenalan yang lebih jauh tentang kepribadian pihak lain. Di dalam Alkitab (Kejadian 29:1-30), kita menemukan kisah tentang Yakub yang melamar Rahel dari Laban, majikan yang juga adalah Ayah gadis itu. Dalam kisah tersebut dikatakan bahwa Yakub ditipu oleh Laban. Namun kita melihat betapa Yakub dengan tekun bekerja sampai dua kali tujuh tahun sebelum ia berhasil mendapatkan Rachel sebagai istrinya. Apa yang yang diperlihatkan Yakub adalah kesungguhan dan kesadaran mengenai batas-batas yang ada antara dirinya dengan Rachel yang sudah diharapkannya untuk menjadi istrinya. Iya tidak berputus asa dalam penantiannya itu.
Dikatakan di atas bahwa pertunangan adalah persiapan menuju perkawinan. Dalam kehidupan sehari-hari anak-anak sering digambarkan sebagai makhluk yang agresif, dominan, kasar dan sebagainya. Tempatnya adalah di luar rumah. Sementara perempuan digambarkan sebagai makhluk yang lemah lembut tunduk kepada laki-laki dan kegiatannya terbatas di lingkungan rumah atau keluarga.
Perhatikanlah beberapa peribahasa Korea di bawah ini:
"Nasib seorang istri adalah seperti sepah" (artinya, ia tidak dapat hidup tanpa sang suami. Bila sang suami meninggal ia pun akan terbuang.)
"Bila seorang istri tidak dipukul dalam 3 hari ia akan berubah menjadi serigala" (artinya, seorang istri harus selalu berada di bawah kekuasaan sang suami.)
"Bila seekor ayam betina berkokok, seluruh keluarga akan runtuh" ( artinya, seorang istri tidak mampu mengatur keluarganya, sehingga ia tidak punya hak berbicara, melainkan hanya mengikuti saja perintah dari sang suami.)
Dikutip dari Kim Soon Young "Harmony Against Harmony" dalam Doing Theology with Asian Resouces, 1993)
Gambaran diatas adalah gambaran stereotip, yaitu gambaran yang diterima masyarakat luas berdasarkan nilai-nilai dan kebudayaan yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Pada kenyataannya gambaran tersebut bisa berbeda-beda dari satu tempat ke tempat yang lainnya. Sebab kadang-kadang kita juga menemukan laki-laki yang berperilaku dan berbahasa lembut, sementara pada saat ini semakin banyak kita menjumpai kaum perempuan yang sangat mampu dan memiliki watak kepemimpinan yang hebat serta aktif di luar rumah.
Dengan adanya nilai-nilai yang diterima masyarakat itu, semakin dibutuhkan keterbukaan dari kedua belah pihak, agar keduanya benar-benar dapat saling mengenal. Selain itu, ada baiknya pula dipikirkan rencana-rencana lainnya yang menyangkut kehidupan berkeluarga seperti misalnya tentang pekerjaan, tempat tinggal, cara membesarkan anak dan sebagainya. Kita dapat membandingkan dengan orang yang akan berpergian ke sebuah tempat yang jauh. Keduanya harus betul-betul menetapkan terlebih dulu, kendaraan apa yang akan dipakai, arah tujuan yang ingin dicapai dan sebagainya. Jangan sampai semua itu ditentukan apabila kehidupan perkawinan sudah dimasuki.
Sebuah unsur yang juga penting dan semakin banyak di lakukan sekarang sebelum memasuki jenjang perkawinan ialah pemeriksaan kesehatan. Di dalam pemeriksaan ini dilakukan berbagai tes untuk melihat kemungkinan adanya penyakit-penyakit tertentu ataupun penyakit keturunan yang diidap oleh salah satu pasangan. Kalau itu suatu penyakit keturunan, seberapa jauhkah hal tersebut akan mempengaruhi kesehatan bersama dan kesehatan anak yang mungkin dilahirkan kelak? Apakah hubungan masih dapat dilanjutkan? Alkitab tidak berbicara langsung mengenal hal-hal seperti ini. Namun semuanya ini dapat dikatakan sebagai batu ujian yang menentukan kelangsungan kehidupan bersama kelak.
(Kotouki)
Referensi: Book Sulu Siswa
Post a Comment