Gambar ilustrasi |
A. Definisi Moral Kerja
Moral kerja sebagai padanan bahasa Inggris working morale di dalam tulisan Ini diartikan "kegairahan kerja". Moral atau kegairahan kerja adalah kesepakatan batiniah yang muncul dari dalam diri seseorang atau sekelompok orang untuk mencapai tujuan tertentu sesuai dengan baku mutu yang ditetapkan. Kesepakatan batiniyah tersebut muncul dari dalam diri individu atau kelompok untuk mencapai tujuan organisasi. Moral, meskipun sifatnya sangat abstrak, akan tetapi sangat esensial dalam dunia kerja. Moral organisasi adalah kondisi mental individu atau kelompok yang mempengaruhi aktivitas manusia organisasional.
B. Dua Dimensi Moral Kerja
Berdasarkan rumusan diatas, moral kerja tampaknya selalu positif. Kalau konsep ini dipertahankan, maka akhirnya pengertian tentang moral dapat menjadi kabur. Mural kerja (working morale) dapat dibedakan menjadi dua dimensi secara kategoris yaitu moral kerja tinggi (high morale) dan moral kerja rendah (low morale). Moral kerja yang tinggi dari para pekerja atau karyawan membawa sumbangan positif bagi organisasi. Sebaliknya moral kerja yang rendah membawa organisasi kepada kehancuran. Rendahnya moral kerja karyawan menyebabkan organisasi akan hancur (Collapse) atau mengalami entropi (entropy), paling tidak berada pada kondisi monoton atau status quo. Dengan demikian, moral kerja sebagai abstraksi suasana batin terdiri dari dua kutub berlawanan. Dua kutub moral kerja karyawan disajikan sebagai berikut ini.
Moral Kerja Tinggi (Suasana Batin Positif)
Moral kerja tinggi adalah seperti senang, bersemangat, menyelesaikan, bekerja menyamping atau lateral, mendorong, terpanggil, partisipasi maksimal, percaya diri, rasa sejawat dan inovatif.
Moral Kerja Rendah (Suasana Batin Negatif)
Suasana batin negatif rendah adalah seperti tidak senang, loyo, menunda, bekerja vertikal, menghambat, ikatan ambil muka, partisipasi seadanya, menunggu perintah, lepas-lepas dan meniru.
Manusia yang bermoral kerja rendah (low working morale) mempunyai karakteristik yang tidak jauh berbeda dengan manusia bersifat kekanak-kanakan (infant) menurut Agyris atau manusia tipe X menurut McGregor. Manusia yang bermoral kerja tinggi (high working morale) mempunyai karakter yang tidak jauh beda dengan manusia dewasa (adult) menurut Agyris atau manusia tipe Y menurut McGregor. Kondisi moral kerja manusia, situasional sifatnya. Moral kerja yang tinggi dan moral kerja yang rendah tidak berada pada kondisi konstan. Moral kerja berada pada suatu rentangan yang dapat bergerak dari suasana batin positif ke suasana batin negatif dan demikian sebaliknya.
Salah satu ciri karyawan bermoral kerja tinggi (high working morale) adalah bekerja menyamping (lateral working) atau bekerja secara lateral. Pekerja menyamping artinya adalah pola bekerja melebar sebagai lawan dari pola kerja vertikal atau pola kerja kacamata kuda. Kacamata kuda dimaksudkan agar ketika menarik sado, kuda itu hanya dapat memandang lurus kedepan. Artinya, karyawan bekerja dengan falsafah kacamata kuda hanya melihat dirinya tanpa mau tahu pekerjaan orang lain, padahal pekerjaan itu tidaklah tunggal. Karyawan yang bermoral kerja tinggi (high working morale) interaksinya sangat dinamis. Akan tetapi, kelompok dengan intensitas tertentu yang berpadu dalam waktu yang cukup lama seringkali menjadi kinerja negatif.
George A. Steiner (1979) dalam bukunya strategi planning, mengemukakan sebuah hasil penelitian, bahwa manusia berkelompok pada kurun waktu terlalu lama mempunyai masalah tersendiri, yaitu:
a. Kelompok yang berinteraksi intensif umumnya memusatkan perhatiannya untuk kurun waktu yang cukup lama. Akibatnya, menutup kemungkinan mencari alternatif lain.
b. Perorangan ada tendensi kuat ikut dalam diskusi. Anggota kelompok tertentu menganggap sama kapasitasnya dengan anggota lain.
c. Meskipun sebagian besar anggota kelompok tidak mengajukan kritik-kritik, anggota kelompok lainnya tetap takut dengan kritik-kritik itu. Akibatnya anggota kelompok tidak suka memberikan pendapat.
d. Manajer tingkat bawah cenderung membenarkan pendapat atasannya, meskipun mereka mempunyai cara pemecahan yang lebih baik.
e. Tekanan-tekanan dalam kelompok menuju kesamaan pendapat, selalu ada. Jika ada anggota kelompok yang berbeda pendapat, biasanya dikucilkan atau diberi sanksi.
f. Individu-individu yang paling dominan dalam kelompok cenderung monopoli atau menguasai anggota kelompok itu. Akibatnya, pemikiran-pemikiran baru atau progresif dari anggota lain menjadi ditekan.
g. Banyak waktu dan tenaga disita oleh anggota kelompok untuk mengatur strategi mempertahankan diri sebagai satu keutuhan kelompok. Akibatnya, mengurangi kemampuan kelompok untuk mengambil keputusan yang produktif.
h. Anggota kelompok sering mengambil keputusan secara tidak matang (premature) disebabkan oleh karena sangat minimnya usaha mencari informasi yang akurat dan relevan.
Jika berlangsung lama, kondisi-kondisi seperti ini akan menimbulkan klik-klik negatif dan selanjutnya hal itu akan mengancam kelangsungan organisasi atau lembaga. Pada skala makro pun, fenomena menunjukkan demikian. Negara-negara yang dipimpin oleh sebuah rezim yang terlalu lama biasanya mengalami krisis yang dahsyat. Misalnya, Indonesia di era Soeharto atau Filipina di era Marcos. Pimpinan baik sebagai pemimpin maupun sebagai komunikator harus berusaha menghindari gejala negatif tersebut dengan beberapa cara, yaitu tu:
a. Pimpinan kelompok harus memberi peluang kepada anggota kelompok untuk berbicara dan berpikir kritis. Iklim komunikasi semakin harus dibuka.
b. Pimpinan kelompok berada pada posisi netral baik arah pembicaraan cara berbuat dan merespon pendapat. Pimpinan tidak memaksakan pendapat kepada kelompok.
c. Kelompok perlu dipilah-pilah kedalam sub-kelompok untuk memecahkan masalah pelik dan kompleks. Tiap kelompok dipimpin oleh anggota yang paling cocok untuk itu.
d. Anggota kelompok perlu meminta pendapat ahli yang layak dipercaya atau berkonsultasi dengan tenaga ahli di luar organisasi.
e. Hasil pemikiran yang telah dikeluarkan perlu di sanggah bersama.
f. Perlu diadakan checking dan checking ulang terhadap keputusan yang telah diambil.
g. Menempatkan saran sebagai saran dan bukan sebagai kritik.
h. Menghilangkan rasa takut pada diri anggota kelompok.
C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Moral Kerja
Moral kerja seseorang tidak berada pada sebuah ruang yang kosong, ibarat munculnya rasa haus, karena di dalam tubuh manusia tubuh kekurangan zat cair. Akan tetapi rasa haus itu akan makin cepat datang, manakala seseorang bekerja keras dan mengeluarkan banyak keringat. Mural kerja pun demikian adanya. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi moral kerja karyawan. Beberapa faktor dimaksudkan adalah:
1. Kesadaran akan tujuan organisasi
Manusia yang sadar akan tujuan organisasinya biasanya memiliki tanggung jawab dan terdorong mencapai target kerja atau dengan tugas pokok dan fungsinya.
2. Hubungan antar manusia dalam organisasi berjalan harmonis
Keharmonisan itu melahirkan suasana atau iklim interaktif yang menyenangkan. Dengan suasana yang menyenangkan itu, gairah kerja seseorang, setidaknya secara hipotetik, otomatis akan dapat terangsang.
3. Kepemimpinan yang menyenangkan
Gaya kepemimpinan yang demokratis, jujur dan adil akan membangkitkan moral kerja karyawan, karena mereka merasakan adanya pengakuan dan penghargaan. Kesamaan bahasa. Berbahasalah dengan bahasa orang! Demikian pernyataan ahli komunikasi. Petunjuk dan perintah kerja harus dapat disampaikan dalam bahasa-bahasa yang dapat dimengerti.
4. Tingkatan organisasi
Makin tinggi posisi manusia organisasional, pekerja yang dilakukannya makin konseptual. Sebaliknya makin rendah posisi manusia organisasional, pekerjaan yang dilakukannya makan teknis. Dengan demikian, faktor-faktor yang mempengaruhi moral kerja akan berbeda pula.
5. Upah dan gaji
Secara umum makin tinggi upah gaji, makin tinggi pula kerja karyawan. Hal ini tidaklah mutlak, karena pada unit kerja yang menawarkan upah dan gaji tinggi, biasanya tuntutan kerja pun sangat tinggi, sehingga tidak semua orang mampu melakukannya.
6. Kesempatan untuk meningkat atau promosi
Manusia organisasional akan terdorong moral kerjanya, manakala ada keyakinan bahwa dengan tampilan semacam itu terbuka.
7. Pembagian tugas dan tanggung jawab
Kita laksanakan tugas dan tanggung jawab utama membuat manusia organisasi dapat bekerja dalam suasana kepastian. Jika terjadi sebaliknya, maka akan muncul keraguan. Manusia organisasional yang berada dalam situasi kebingungan kerja, akan lebih banyak berpikir tidak produktif daripada bertindak secara riil.
8. Kemampuan individu
Manusia organisasional berbeda potensi, minat, intelegensi, kekuatan fisik dan sebagainya. Daya tanggap nya pun berbeda. Orang-orang yang mempunyai "daya tanggap" tinggi, dengan sinyal sedikit saja moral kerjanya akan meningkat secara instan.
9. Perasaan diterima dalam kelompok
Rasa diterima oleh anggota kelompok merupakan syarat bagi seseorang untuk dapat bekerja dengan derajat moral kerja tertentu.
10. Dinamika lingkungan
Faktor lingkungan baik lingkungan fisik maupun nonfisik, akan menentukan apakah seseorang terdorong untuk tampil dengan moral kerja yang tinggi atau sebaliknya.
11. Kepribadian
Manusia dengan kepribadian terbuka, umumnya murah kerjanya mudah dirangsang. Sebaliknya, manusia organisasional yang cenderung tertutup amat sulit menerima rangsangan dan isyarat perubahan.
D. Teknik Mengukur Moral Kerja
Kesebelas faktor diatas bisa positif dan bisa juga negatif, tergantung pada kondisinya. Adalah sukar untuk mengukur moral kerja manusia organisasional, disebabkan karena moral kerja sifatnya abstrak. Demikian juga tidak sederhana untuk mengukur variabel-variabel mempengaruhi moral itu terhadap tinggi atau rendahnya moral kerja karyawan. Jika produktivitas dijadikan ukuran tinggi rendahnya moral kerja juga tidak sepenuhnya tepat, oleh karena banyak hal lain yang mempengaruhi produktivitas kerja. Disamping melihat indikator produktivitas modal kerja, dapat dilihat melalui perilaku nyata yang ditampilkan oleh para pekerja. Ada beberapa cara untuk mengukur moral kerja karyawan seperti observasi, wawancara dan angket.
1. Observasi
Pengamatan merupakan cara sederhana yang dapat dilakukan untuk mengukur tinggi atau rendahnya motivasi karyawan. Observasi yang dianjurkan adalah bersifat alami (participant observation), di mana observasi atau pengamatan berada pada kondisi yang sesungguhnya. Pengamat melakukan pengamatan bersamaan dengan dia berperilaku selayaknya subjek atau kelompok subjek yang diamatinya. Aspek yang di observasi antara lain adalah perilaku manusia dalam bekerja.
2. Wawancara atau Interview
Dianggap cukup efektif untuk mengetahui tinggi atau rendahnya moral kerja karyawan. Oleh karena itu hal-hal yang bersifat teknis pelaksanaan wawancara perlu mendapat perhatian. Wawancara yang dilakukan tanpa prosedur tertentu, akan membuat alat ukur tidak relevan. Pewawancara harus menciptakan kondisi sehingga di interview atau wawancara betul-betul dapat mencurahkan isi hatinya.
3. Angket
Seperangkat pertanyaan tertulis yang harus diisi oleh sekelompok subjek guna mengumpulkan data tertentu.
4. Alat ukur lainnya
Penilaian terhadap hasil kerja karyawan. Jika suatu saat produktivitas kerja berkurang dari biasanya berarti kecenderungan moral kerja karyawan menurun. Sebaliknya, jika produktivitas kerja karyawan meningkat, berarti ada kecenderungan moral kerja karyawan meningkat.
Beberapa penjelasan tentang moral kerja (workwor morale) yang di kemukakan oleh Agyris dan McGregor. Penjelasan yang cukup memberikan kemudahan dalam memahami dan penerapan ketika menjadi pimpinan di sebuah lembaga, pemerintah, atau dalam sebuah perusahaan swasta dan lainnya.
(Kotouki)
Referensi:
KBBI
Buku "Motivasi Kepemimpinan dan Efektivitas Kelompok) karya Prof. Dr. Sudarwan Danim
Post a Comment